Politeknik Kesehatan Kemenkes

Senin, 19 September 2011

PMI, Satu Negara Satu Lambang

KETUA Umum Palang Merah Indonesia (PMI) Jusuf Kalla setahun yang lalu mengatakan, apa pun lambangnya, kalau bekerja secara profesional dan berlandaskan semangat kesukarelaan, PMI pasti mendapat tempat di hati masyarakat. Statemen itu dilontarkan ketika RUU mengenai Lambang PMI akan dibahas final di DPR.

Pernyataan tersebut bukan tanpa dasar. Begitu memasuki ranah politik, pascareformasi pembahasan rancangan regulasi itu tetap tidak mulus. Sejumlah anggota DPR menyatakan keberatannya PMI menggunakan lambang palang merah. ’’Lambang ini tidak mengakomodasi aspirasi mayoritas rakyat Indonesia,’’ kata salah seorang anggota DPR, yang lebih suka PMI menggunakan lambang bulan sabit merah.

Dalam peringatan HUT ke-66 pada 17 September 2011, PMI menetapkan tema ’’Satu Negara, Satu Lambang, Satu Gerakan’’. Pemilihan tema ini tepat agar polemik opini publik terhadap sejarah dan peranan organisasi kemanusiaan ini, termasuk lambang yang digunakan, dalam ikut membela hak-hak sipil, orang-orang yang lemah dan netral sejak zaman penjajahan, perlu diluruskan. Kebenaran sejarah sampai sekarang banyak dilupakan orang.

Sejarah pembentukan PMI di beberapa kota yaitu Jakarta, Surabaya, Semarang, Yogyakarta, dan dan Bandung berawal pada 17 September 1945 atau 30 hari setelah proklamasi kemerdekaan. Antara tahun 1945 dan1949 daerah yang masih diduduki Belanda ada Het Netherland Rode Kruis Afdeling Indonesie (Nerkai/ Palang Merah Belanda Bagian Indonesia yang) di dalamnya ada kegiatan transfusi darah. Setelah pengakuan kedaulatan tanggal 27 Desember 1949, Nerkai melebur ke PMI.

Tahun 1950 pemerintah RIS mengeluarkan Keppres Nomor 25 Tahun 1950 yang meneguhkan keberadaan PMI dilengkapi dengan beberapa peraturan perundang-undangannya, di antaranya PP Nomor 18 Tahun 1980 tentang Transfusi Darah yang memberi landasan PMI membantu Depkes c.q. rumah sakit dalam hal transfusi darah.

Setelah tahun 1950 pemerintah mengeluarkan keppres mengenai keabsahan PMI, dan mengakui Konvensi Jenewa pada tahun 1958, mulailah organisasi kemanusian ini didukung oleh relawan kemanusiaan yang dimotori tentara, didirikan di berbagai kota dan kabupaten. Organisasi ini hanya didirikan di satu negara pihak/peserta Konvensi Jenewa 1949.

Di Indonesia, organisasi ini adalah satu-satunya Perhimpunan Palang Merah karena lembaga ini sudah siap infrastruktur dan SDM-nya, serta ada pengakuan pemerintah, bahkan pengakuan sebagai anggota International Federation of the Red Cross and Red Crescent Societies (IFRC/ Federasi Internasional Perhimpunan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah) dan International Committee of the Red Cross (ICRC).

Lambang Universal

Tahun 1950, sejak pemerintah mengeluarkan keppres, lambang PMI adalah plus/ tambah (+), warna merah, bukan bulan sabit merah. Pendiri gerakan ini sepakat menyempurnakan lambang dengan melingkari bunga melati merah di atas warna putih. Lambang plus bisa diartikan perlindungan atau penjumlahan. Plus adalah garis horizontal dan vertikal sama panjang. Kalau garis vertikal lebih panjang bisa diartikan salib, dan kalau garis horizontalnya lebih panjang bisa diartikan palang pintu.

Lambang plus (+) dipakai universal dalam berbagai ilmu matematika.

Adapun lambang bulan sabit merah, secara internasional muncul tahun 1876, ketika Balkan dilanda perang. Sejumlah pekerja kemanusiaan yang tertangkap tentara Ottoman dibunuh karena menggunakan ban lengan bergambar palang/ plus (+) yang ditafsirkan sebagai salib. Ketika pemerintah Turki diminta menjelaskan, mereka menekankan kepekaan tentara muslim terhadap lambang berbentuk palang/ salib, dan menganjurkan agar perhimpunan nasional dan pelayanan medis militer boleh menggunakan lambang yang berbeda, yaitu bulan sabit Merah.

Dengan demikian, menurut Konvensi Jenewa 1949, lambang palang merah adalah lambang yang dipilih konvensi, sedangkan bulan sabit merah adalah lambang pengecualian yang dimungkinkan bagi negara-negara yang sudah memakainya (sebelum pengadopsian Konvensi Jenewa 1949).

Jika Indonesia sudah mengakui Konvensi Jenewa, sudah menyetujui statuta gerakan, menghormati prinsip dasar gerakan dan menjalankan tugasnya sejalan dengan prinsip hukum perikemanusiaan internasional mestinya rakyat yang diwakili DPR tidak keberatan dengan kiprah/gerakan dan penggunaan lambang PMI yang sudah dipakai sejak masa penjajahan Belanda.
Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Buku CPNS 2021

Tryaout CPNS 2021