Politeknik Kesehatan Kemenkes

Selasa, 04 Februari 2014

Kemenkes disebut sarang koruptor kelas kakap

Indonesia Corruption Watch (ICW) menuding Kementerian Kesehatan (Kemenkes) sebagai sarang korupsi. Pasalnya, sejak 2009-2013 Kemenkes merugikan negara Rp249,1 miliar.

Koordinator Divisi Monitoring Pelayanan Publik ICW Febri Hendri mengatakan, Kemenkes merupakan lembaga paling besar merugikan negara yakni sebesar Rp249,1 miliar. Kerugian ini berasal dari sembilan kasus korupsi yang ditindak penegak hukum dilembaga ini. Selain itu, lembaga ini juga menyumbang koruptor kakap yakni dua menkes dan dua orang dirjen.

“Oleh karena itu, wajar jika saat ini Kemenkes dikatakan sebagai sarang koruptor kakap sektor kesehatan,” katanya dalam konferensi pers Trend Korupsi Kesehatan di Kantor ICW, Jakarta, tadi malam.

Febri menjelaskan, selain Kemenkes, korupsi kesehatan juga terjadi di lembaga kesehatan lain seperti Dinas Kesehatan (Dinkes) Provinsi/Kabupaten/Kota, rumah sakit dan puskesmas. Berdasarkan pemantauan ICW, 46 kasus korupsi terjadi di Dinkes Provinsi/Kabupaten/Kota, 55 kasus di rumah sakit, dan sembilan kasus di puskesmas seluruh Indonesia. Total kerugian negara di tiga lembaga kesehatan ini mencapai Rp210,1 miliar.

Sejalan dengan hal tersebut, berdasarkan jumlah kasus dan kerugian negara pengelolaan anggaran kesehatan di pemerintahan pusat (eksekutif, legislatif, dan BUMN) penyumbang korupsi terbesar berdasarkan lokasi korupsi. Jumlah kasus yang terjadi di wilayah ini mencapai 12 kasus dengan kerugian negara Rp273,15 miliar.

Sementara wilayah lain yang merupakan provinsi rawan korupsi kesehatan adalah Banten dan Sumut. Dua provinsi terakhir menyumbang sembilan dan 15 kasus korupsi kesehatan dengan kerugian negara masing-masing adalah Rp71,6 miliar dan Rp59,2 miliar.

Febri menyebutkan, dana program kuratif di dalam APBN dan APBD Kesehatan merupakan dana paling rawan korupsi. Dari 122 kasus korupsi kesehatan, 93,0 persen diantaranya merupakan kasus yang melibatkan pengelolaan dana program kuratif seperti pengadaan alkes (alat kesehatan), obat, pembangunan/rehabilitasi rumah sakit dan puskesmas, jaminan kesehatan dan pembangunan laboratorium.

“Dana pengadaan alkes merupakan paling banyak dikorupsi yakni 43 kasus dengan kerugian negara Rp442,0 miliar,” ujarnya.

Dari 122 kasus korupsi kesehatan yang ditindak, sebagian besar diantaranya bermodus penggelembungan harga barang dan jasa. Dia menyatakan, hal ini bisa dimaklumi karena kasus yang ditindak umumnya adalah kasus korupsi pengadaan alkes, obat dan pembangunan/rehabilitasi rumah sakit dan puskesmas.

Modus ini dapat dilakukan dengan mudah karena adanya kongkalikong antara panitia pengadaan yang diintervensi atasannya dengan rekanan pengadaan. Untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar, maka harga barang dinaikkan jauh lebih tinggi dari harga wajar, misalnya harga pasar atau harga ditetapkan pemerintah.

Jika dilihat dari kinerja penegak hukum, kata Febri, masih banyak praktik korupsi di sektor kesehatan yang lolos. Hal ini disebabkan karena lemahnya penegakan hukum atas praktik korupsi kesehatan.

Dari 42 kasus korupsi kesehatan yang ditindak sebelum tahun 2009, lebih dari setengah kasus tersebut atau 26 kasus tidak jelas perkembangan penanganannya sampai akhir tahun 2013.

“Hanya delapan kasus dari 42 kasus yang mendapatkan vonis dari pengadilan. Sisanya masih dalam proses persidangan, buron, atau SP3,” terangnya.

Praktisi Kesehatan Kartono Mohammad mengungkapkan, korupsi kesehatan telah berlangsung sejak orde baru. Korupsi di kesehatan terjadi dari pengadaan, pembangunan termasuk tukar guling bangunan dan pengadaan obat.

Ketika era Soeharto, jelasnya, dirjen selalu diminta anggaran untuk kemenangan salah satu partai.  Namun sekarang pengumpulan anggaran untuk kemenangan partai sudah dihentikan.

Dia menerangkan, tradisi dari zaman orde baru kesehatan merupakan sarana untuk kesembuhan (kuratif). Bahkan puskesmas yang semestinya menjadi tempat kegiatan promotif dan preventif diubah menjadi tempat pengobatan.

“Jadi, anggaran kuratif bukan karena mudah dikorupsi akan tetapi memang menjadi kebiasaan dari dulu anggaran ini lebih besar daripada anggaran untuk promotif dan preventif. Kalau anggaran promotif dan preventif lebih besar juga tidak ada jaminan tidak dikorupsi,” tuturnya.

Mantan ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) ini menyampaikan, menanggapi penelitian ini seharusnya pemerintah memperhatikan otonomi daerah. Karena rumah sakit dan puskesmas di bawah kepala daerah dan bukan di bawah Kemenkes. Sehingga korupsi di daerah hanya akan berkaitan dengan pemerintah daerah.
Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Buku CPNS 2021

Tryaout CPNS 2021