Indonesia Corruption
Watch (ICW) menuding Kementerian Kesehatan (Kemenkes) sebagai sarang
korupsi. Pasalnya, sejak 2009-2013 Kemenkes merugikan negara Rp249,1
miliar.
Koordinator Divisi Monitoring
Pelayanan Publik ICW Febri Hendri mengatakan, Kemenkes merupakan
lembaga paling besar merugikan negara yakni sebesar Rp249,1 miliar.
Kerugian ini berasal dari sembilan kasus korupsi yang ditindak penegak
hukum dilembaga ini. Selain itu, lembaga ini juga menyumbang koruptor
kakap yakni dua menkes dan dua orang dirjen.
“Oleh karena itu, wajar jika saat ini
Kemenkes dikatakan sebagai sarang koruptor kakap sektor kesehatan,”
katanya dalam konferensi pers Trend Korupsi Kesehatan di Kantor ICW,
Jakarta, tadi malam.
Febri menjelaskan, selain Kemenkes, korupsi
kesehatan juga terjadi di lembaga kesehatan lain seperti Dinas Kesehatan
(Dinkes) Provinsi/Kabupaten/Kota, rumah sakit dan puskesmas.
Berdasarkan pemantauan ICW, 46 kasus korupsi terjadi di Dinkes
Provinsi/Kabupaten/Kota, 55 kasus di rumah sakit, dan sembilan kasus di
puskesmas seluruh Indonesia. Total kerugian negara di tiga lembaga kesehatan ini mencapai Rp210,1 miliar.
Sejalan dengan hal tersebut, berdasarkan jumlah kasus dan kerugian negara
pengelolaan anggaran kesehatan di pemerintahan pusat (eksekutif,
legislatif, dan BUMN) penyumbang korupsi terbesar berdasarkan lokasi
korupsi. Jumlah kasus yang terjadi di wilayah ini mencapai 12 kasus
dengan kerugian negara Rp273,15 miliar.
Sementara wilayah lain yang merupakan provinsi rawan korupsi kesehatan adalah Banten
dan Sumut. Dua provinsi terakhir menyumbang sembilan dan 15 kasus
korupsi kesehatan dengan kerugian negara masing-masing adalah Rp71,6
miliar dan Rp59,2 miliar.
Febri menyebutkan, dana program kuratif
di dalam APBN dan APBD Kesehatan merupakan dana paling rawan korupsi.
Dari 122 kasus korupsi kesehatan, 93,0 persen diantaranya merupakan
kasus yang melibatkan pengelolaan dana program kuratif seperti pengadaan
alkes (alat kesehatan), obat, pembangunan/rehabilitasi rumah sakit dan
puskesmas, jaminan kesehatan dan pembangunan laboratorium.
“Dana pengadaan alkes merupakan paling banyak dikorupsi yakni 43 kasus dengan kerugian negara Rp442,0 miliar,” ujarnya.
Dari
122 kasus korupsi kesehatan yang ditindak, sebagian besar diantaranya
bermodus penggelembungan harga barang dan jasa. Dia menyatakan, hal ini
bisa dimaklumi karena kasus yang ditindak umumnya adalah kasus korupsi
pengadaan alkes, obat dan pembangunan/rehabilitasi rumah sakit dan
puskesmas.
Modus ini dapat dilakukan dengan mudah karena adanya
kongkalikong antara panitia pengadaan yang diintervensi atasannya dengan
rekanan pengadaan. Untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar, maka
harga barang dinaikkan jauh lebih tinggi dari harga wajar, misalnya
harga pasar atau harga ditetapkan pemerintah.
Jika dilihat dari
kinerja penegak hukum, kata Febri, masih banyak praktik korupsi di
sektor kesehatan yang lolos. Hal ini disebabkan karena lemahnya
penegakan hukum atas praktik korupsi kesehatan.
Dari 42 kasus
korupsi kesehatan yang ditindak sebelum tahun 2009, lebih dari setengah
kasus tersebut atau 26 kasus tidak jelas perkembangan penanganannya
sampai akhir tahun 2013.
“Hanya delapan kasus dari 42 kasus yang
mendapatkan vonis dari pengadilan. Sisanya masih dalam proses
persidangan, buron, atau SP3,” terangnya.
Praktisi Kesehatan
Kartono Mohammad mengungkapkan, korupsi kesehatan telah berlangsung
sejak orde baru. Korupsi di kesehatan terjadi dari pengadaan,
pembangunan termasuk tukar guling bangunan dan pengadaan obat.
Ketika
era Soeharto, jelasnya, dirjen selalu diminta anggaran untuk kemenangan
salah satu partai. Namun sekarang pengumpulan anggaran untuk
kemenangan partai sudah dihentikan.
Dia
menerangkan, tradisi dari zaman orde baru kesehatan merupakan sarana
untuk kesembuhan (kuratif). Bahkan puskesmas yang semestinya menjadi
tempat kegiatan promotif dan preventif diubah menjadi tempat pengobatan.
“Jadi,
anggaran kuratif bukan karena mudah dikorupsi akan tetapi memang
menjadi kebiasaan dari dulu anggaran ini lebih besar daripada anggaran
untuk promotif dan preventif. Kalau anggaran promotif dan preventif
lebih besar juga tidak ada jaminan tidak dikorupsi,” tuturnya.
Mantan
ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) ini menyampaikan, menanggapi
penelitian ini seharusnya pemerintah memperhatikan otonomi daerah.
Karena rumah sakit dan puskesmas di bawah kepala daerah dan bukan di
bawah Kemenkes. Sehingga korupsi di daerah hanya akan berkaitan dengan
pemerintah daerah.
0 komentar:
Posting Komentar